
Konon pada suatu waktu, Tuhan
memanggil tiga malaikatnya.
Sambil memperlihatkan sesuatu, Tuhan berkata,
“Ini namanya Kebahagiaan. Sangat
bernilai, selalu dicari, dan senantiasa diperlukan oleh manusia. Simpanlah di
suatu tempat, supaya manusia sendiri yang akan menemukannya. Jangan di tempat
yang terlalu mudah, sebab nanti kebahagiaan akan disia-siakan. Tetapi jangan
pula di tempat yang terlalu susah, sehingga tidak akan pernah bisa ditemukan
oleh manusia. Dan yang terpenting, letakkan kebahagiaan itu di tempat yang
bersih.”
Setelah mendapat perintah
tersebut, turunlah ketiga malaikat itu langsung ke bumi untuk meletakkan
kebahagiaan.
Tetapi di mana mereka harus meletakkannya?
Malaikat pertama lalu mengusulkan,
“Letakkan di puncak gunung yang tinggi”. Namun malaikat kedua berkata, “TIDAK!
Letakkan di dasar samudera yang paling dalam”. “Atau letakkan saja di tengah gurun pasir yang
sangat luas” sanggah malaikat pertama. Tapi lagi-lagi, kedua usul itu tetap
dinilai kurang tepat.
Tempat demi tempat pun satu persatu dijadikan usulan,
tetapi tidak ada satupun tempat yang berkenan bagi ketiga malaikat. Sampai akhirnya
malaikat ketiga membisikkan usulnya, yang langsung disetujui oleh ketiga
malaikat.
Dan malam itu juga, ketika semua orang sedang tidur,
ketiga malaikat itu pun meletakkan kebahagiaan di tempat yang dibisikkan tadi. Dan kebahagiaan untuk manusia tersimpan dengan rapih.
Namun rupanya tempat itu cukup sulit
untuk ditemukan. Hari ke hari, tahun ke tahun, manusia terus berusaha mencari kebahagiaan
yang dijanjikan oleh TUHAN. Semua ingin menemukan kebahagiaan itu. Semua ingin
merasa bahagia.
Tapi di mana mencarinya?
Ada yang mencari kebahagiaan sambil
berwisata ke gunung, ada yang mencari di pantai, ada yang mencari di tempat
yang sunyi, ada pula yang mencari di keramaian. Ada yang mencari di pertokoan,
di restoran, di tempat ibadah, di kolam renang, di lapangan olah raga, di
bioskop, di layar televisi, di kantor, maupun di tempat-tempat lainnya.
Ada
pula yang mencari kebahagiaan dengan kerja keras, namun sebaliknya ada pula
yang bermalas-malasan. Ada yang ingin merasa bahagia dengan mencari pacar, ada
yang mencari gelar, ada yang menciptakan lagu, ataupun mengarang buku.
Semua dilakukan
dengan satu tujuan, yaitu menemukan kebahagiaan. Pernikahan misalnya, selalu
dihubungkan dengan kebahagiaan. Semua orang seakan-akan beranggapan bahwa jika belum
menikah berarti belum bahagia. Padahal siapapun juga tahu bahwa menikah tidaklah
identik dengan bahagia. Begitu pula dengan kekayaan. Ya…kekayaan sering kali dihubungkan
dengan kebahagiaan..
Alangkah bahagianya kalau aku punya ini ataupun itu,
punya banyak uang untuk membeli semua yang kita inginkan. Tetapi kemudian hari,
ketika kita sudah memilikinya, barulah kita sadar bahwa tidak pernah ada kata “CUKUP”…Kata
bahwa “aku akhirnya bahagia.”
Kita selalu ingin menemukan kebahagiaan.
Namun Kebahagiaan itu diletakkan terlalu rapih oleh
ketiga malaikat. Di mana mereka meletakkannya?
Bukan di puncak gunung seperti
diusulkan oleh malaikat pertama.
Bukan di dasar samudera seperti usulan
malaikat kedua.
Bukan pula di tengah gurun yang
luas.
Melainkan di tempat yang dibisikkan oleh malaikat ketiga.
Yaitu…..
DI HATI YANG BERSIH
Sumber: N.N. (dpt dari forward-an email seorang teman)
MY NOTE:
Sering kali kita bercuap-cuap
bahwa kita ini sedang mencari kebahagiaan. Entah buat diri kita sendiri ataupun
buat orang yang kita kasihi.
Ayah dan ibu kerja tak kenal
waktu dengan alasan, agar anaknya dapat hidup berkecukupan dan bahagia. Tapi
pernahkah sang ayah bertanya pada anaknya, apakah telah cukup yang kamu
dapatkan?. Atau pernahkah sang ibu bertanya, bahagiakah kamu ketika kamu hidup
dengan makmur tapi tak punya kesempatan untuk bermain dengan ibu ataupun ayah?.
Seorang anak yang
beranjak dewasa kerja membanting tulang mati-matian, dengan alasan sudah
waktunya aku membayar hutang budiku pada kedua orang tua, sudah waktunya aku
membuat mereka bahagia. Tapi pernahkah dia bertanya pada kedua orang tuanya,
apakah mereka bahagia, ketika anak mereka kerja mati-matian sampai tak ada lagi
waktu buat kedua orang tuanya?. Pernahkah dia tahu, bahwa bukan uang hasil
jerih payahnya yang kedua orang tuanya butuhkan. Tapi hanya sebuah senyuman,
pelukan dan kebahagiaan anak itu sendirilah yang dapat membuat orang tuanya
juga bahagia.
Seorang teman yang sedang
mencari jati diri, berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan kesuksesan dan uang
yang begitu melimpah. Berharap suatu saat nanti ia tidak perlu lagi susah
payah. Hanya duduk ongkang-ongkang kaki dan menjadi orang paling bahagia di
muka bumi ini. Tapi pernahkah ia bertanya pada dirinya sendiri, kapankah itu
terjadi? Apa tolak ukurnya? Dan bagaimana ia tahu bahwa ia telah mencapai kata
“cukup”?.
Dan terakhir aku….
Aku yang selalu berkata dan
bermimpi bahwa tujuan hidupku hanya satu, yaitu BAHAGIA. Tapi pernahkah
sebelumnya aku bertanya pada hati ku sendiri, apa itu arti BAHAGIA?. Apakah
memang itu mimpiku, ataukah itu hanyalah tameng yang menutupi ketakutanku pada
realita hidup?.
Tanpa kita sadari, itu semualah
yang kau dan bahkan aku lakukan, berjuang dengan mengatasnamakan “pencari
kebahagiaan”.
Padahal kebahagiaan itu sudah
ada dan sudah kita miliki. Tak perlu lagi kita cari, yang kita perlukan
hanyalah menyadari, menerima, dan menjaganya erat-erat.
Belajar untuk tidak lagi
berpikir bahwa “rumput tetangga jauh lebih hijau”.
Berusaha untuk tidak lagi
berpikir “lebih…lebih…dan lebih” atau bahkan “ini tidak cukup”.
Tidak lagi mengotori hati yang
bersih dengan pikiran yang tak ada puasnya.
Tak lagi menggunakan kebahagiaan
sebagai tameng atas ketidakmampuan kita dalam menerima kehidupan.
dan pada akhirnya berjuang untuk
berseru pada dunia “AKU BAHAGIA”.
Namun mampukah aku? Sudikah aku
mempertaruhkan segalanya untuk PERCAYA?
Dan yang terpenting, beranikah aku
untuk berkata “CUKUP”?